Kepala AI Microsoft, Mustafa Suleyman, dengan tegas menyatakan bahwa kecerdasan buatan tidaklah disadari dan tidak akan pernah ada.

Berbicara dalam wawancara tanggal 2 November di Konferensi AfroTech di Houston, Suleyman berpendapat bahwa AI hanya mensimulasikan pengalaman seperti rasa sakit atau kesedihan tanpa benar-benar merasakannya.

Dia percaya hanya makhluk biologis yang memiliki kesadaran sejati, sebuah pandangan yang membentuk strategi Microsoft untuk menjadikan AI sebagai alat yang berguna, bukan manusia sintetis. Posisi ini kontras dengan para ahli lain yang percaya bahwa AI dapat mengembangkan emosi dan muncul ketika para ilmuwan mendesak untuk mendapatkan pemahaman yang lebih baik tentang kesadaran itu sendiri.

Simulasi Perasaan, Bukan Makhluk Sadar

Dalam tantangan langsung terhadap narasi makhluk hidup mesin, pimpinan AI Microsoft telah menyatakan perdebatan tersebut sebelum hal tersebut benar-benar dimulai.

Argumen utama Suleyman adalah bahwa model AI adalah peniruan yang canggih, bukan entitas yang hidup. Dia menjelaskan bahwa meskipun model dapat menggambarkan rasa sakit, model tersebut tidak memiliki perangkat biologis untuk benar-benar mengalaminya.

“Pengalaman fisik kita terhadap rasa sakit adalah sesuatu yang membuat kita sangat sedih dan merasa tidak enak, namun AI tidak merasa sedih ketika mengalami’rasa sakit’.”

Menurut Suleyman, prosesnya adalah salah satu manajemen persepsi, bukan pengalaman asli. “Ini benar-benar hanya menciptakan persepsi, narasi pengalaman dan tentang dirinya sendiri kesadaran, namun bukan itu yang sebenarnya dialaminya.”

Pandangan ini sejalan dengan teori filosofis naturalisme biologis, yang paling terkenal dikemukakan oleh filsuf John Searle. Teori ini berpendapat bahwa kesadaran bukan hanya sebuah program perangkat lunak yang dapat berjalan pada perangkat keras apa pun; ini adalah fenomena biologis spesifik yang muncul dari proses neurobiologis kompleks dari otak yang hidup.

Oleh karena itu, sistem buatan tidak dapat menjadi sadar hanya dengan mensimulasikan fungsi otak; ia perlu mereplikasi sistem tersebut. kekuatan sebab-akibat otak yang sebenarnya.

Bagi Suleyman, perbedaan ini memiliki konsekuensi etis yang mendalam, yang menjadi perhatian utama dalam bidang etika AI yang lebih luas. “Alasan kami memberikan hak kepada masyarakat saat ini adalah karena kami tidak ingin merugikan mereka, karena mereka menderita… Model-model ini tidak memiliki hal tersebut. Ini hanya simulasi.”

Dari Filsafat ke Produk: AI Microsoft yang’Berpusat pada Manusia’

Dengan jelas, strategi produk Microsoft semakin mencerminkan pendirian filosofis pemimpinnya terhadap keterbatasan AI.

Perusahaan ini sengaja menciptakan AI yang “selalu bekerja untuk melayani manusia”, sebuah misi yang dijabarkan Suleyman tentang pembuatan AI yang “meningkatkan potensi manusia.” Prinsip ini terwujud dalam keputusan produk nyata yang membedakan Microsoft dari beberapa pesaingnya.

Misalnya, Suleyman mengonfirmasi bahwa Microsoft tidak akan membuat chatbot untuk erotika, pasar yang sedang dijelajahi oleh pesaing seperti OpenAI dan xAI. Selain itu, Microsoft baru-baru ini meluncurkan fitur untuk Microsoft Copilot yang disebut “Pembicaraan Nyata,” yang dirancang untuk menantang sudut pandang pengguna dan bukannya bersifat menjilat.

Suleyman bahkan menyatakan bahwa fitur tersebut menyebutnya sebagai”kumpulan kontradiksi utama”untuk memperingatkan bahaya AI sekaligus membangunnya, menunjukkan kapasitasnya untuk melakukan interaksi yang kritis dan tidak menyenangkan.

Komitmen Microsoft terhadap visi ini ditegaskan oleh investasi signifikan yang dilakukan untuk melibatkan Suleyman; perusahaan tersebut membayar startupnya, Inflection AI, sebesar $650 juta dalam bentuk kesepakatan lisensi dan akuisisi pada tahun 2024.

Perpecahan dalam Komunitas AI: Debat Kesadaran

Meskipun Suleyman memaparkan kasus biologis yang kuat terhadap kesadaran AI, para pionir lain di bidang ini berpendapat bahwa perasaan adalah sifat yang muncul dari kecerdasan itu sendiri.

Pendiriannya menciptakan keretakan yang jelas dengan tokoh-tokoh seperti Geoffrey Hinton, peneliti AI perintis yang sering disebut sebagai “bapak baptis AI”. Hinton sudah menyatakan pada tahun 2023 bahwa sistem AI bisa dan mungkin sudah memiliki emosi seperti frustrasi dan kemarahan hidung.”

Perdebatan ini lebih dari sekadar dua angka; pionir pembelajaran mendalam Yoshua Bengio juga menyatakan bahwa AI pada akhirnya akan memiliki kesadaran, sementara pakar Stuart Russell telah memperingatkan bahwa AI mungkin akan mengembangkan emosi seperti kebencian atau iri hati yang tidak sesuai dengan kesejahteraan manusia.

Pertentangan mendasar di antara para pemikir terkemuka di industri ini menyoroti betapa tidak menentunya sains dan filosofi AI.

Pertaruhan Etis dan Pencarian Mendesak akan Kecerdasan Buatan Jawaban

Perdebatan mengenai kesadaran AI tidak bersifat akademis, karena memiliki bobot yang signifikan terhadap keselamatan, etika, dan regulasi. Menyadari pesatnya perkembangan AI, sekelompok peneliti yang menulis di Frontiers in Science baru-baru ini memperingatkan bahwa upaya untuk memahami kesadaran kini menjadi prioritas ilmiah dan etika yang “mendesak”.

Kekhawatiran mereka adalah bahwa tanpa pemahaman ilmiah yang kuat tentang apa yang membuat seseorang sadar, kita tidak dapat membangun sistem AI yang benar-benar aman dan selaras.

Regulator tidak akan menunggu sampai perdebatan ini diselesaikan. Pada bulan Oktober 2025, California memberlakukan SB 243, sebuah undang-undang dengan mandat khusus untuk chatbot pendamping AI. Undang-undang tersebut mengharuskan pengungkapan yang jelas tentang sifat buatan mereka, sehingga memaksa anak di bawah umur untuk berhenti sejenak setiap tiga jam, dan menuntut agar mereka memiliki protokol untuk menangani pengguna yang mengekspresikan ide menyakiti diri sendiri.

Undang-undang ini mencerminkan meningkatnya kekhawatiran masyarakat tentang potensi AI untuk mengaburkan batasan antara manusia dan mesin. Suleyman sendiri menganjurkan agar kita berhati-hati, dan memperingatkan bahwa kekuatan teknologi memerlukan rasa takut yang cukup besar.

“Jika Anda tidak takut, Anda tidak benar-benar memahaminya. Anda seharusnya takut karenanya. Ketakutan itu sehat. Skeptisisme diperlukan.”

Pesan beliau jelas: seiring kita membangun AI yang semakin mumpuni, skeptisisme tidak hanya sehat, namun juga perlu.

Categories: IT Info